Kekuasaan, Ekonomi dan Penindasan
[REFLEKSI AKHIR TAHUN 2023]
Sejarah berulangkali membuktikan bahwa ketika Kekuatan Kekuasaan berkolaborasi dengan Kekuatan Ekonomi (Bisnis & Industri) maka Penindasan pun terjadi. Pada umumnya Rakyat adalah korbannya.
Penindasan terjadi bukan saja pada manusia, tetapi juga kerap kali pada alam dan lingkungan dimana manusia berada sehingga manusia pun menjadi korban juga.
“The Power of Economy” dan “The Economics of Power” hampir selalu bergandengan tangan sepanjang masa.
Ekonomi adalah amunisi untuk mencapai Kekuasaan (The Power of Economy) dan ketika Kekuasaan tercapai, pastinya Kekuasaan tsb memiliki nilai ekonomis (The Economics of Power). Praktek dalam mengkapiltalisasi Nilai Ekonomis Kekuasaan tersebutlah yang menentukan terjadi atau tidaknya Penindasan.
Sebagian besar dari kita lebih sering terjebak dalam diskursus s/d perjuangan dalam konteks The Power of Economy, kemudian loncat langsung ke Bab “Dampak” dengan melewatkan Bab The Economics of Power.
Proses ini sepertinya berulang-ulang terus dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dari satu generasi Social Justice Warriors ke generasi berikutnya. Dari satu generasi pimpinan gereja ke generasi berikutnya.
The Economics of Power berbicara tentang bagaimana kita bisa membangun “Nilai” dari Kekuasaan, khususnya nilai Finansial, untuk kemudian dikapitalisasi bagi kesejahteraan rakyat.
Di kantong-kantong Kristen, The Economics of Power adalah sesuatu yang bersifat Anugerah alias “Given“. Tetapi sayangnya di sebagian kantong-kantong Kristen tersebut, gereja seringkali ketinggalan momentum dalam membangun dan memanfaatkannya sehingga ‘orang luar’ lah yang mengambil alih potensi tersebut.
“First Nature Advantage” kantong-kantong Kristen yang adalah Anugerah Tuhan cenderung kita ‘abaikan’. Mungkin karena faktor ketidakmampuan kita dalam mengkapitalisasinya secara kolektif atau bisa juga karena faktor-faktor lain.
First Nature berbicara tentang kekayaan alam yang dimiliki oleh suatu wilayah. Tantangannya adalah bagaimana membangun “Advantage” (keunggulan) dari First Nature tsb.
Ketika “Kekuatan Ekonomi” dari luar yang pada umumnya dimotori oleh Korporasi masuk ke suatu kantong Kristen, kekuatan tersebut acap kali berselingkuh dengan Kekuasaan Lokal secara transaksional. Gereja dan rakyat (jemaat) antara tergeser menjadi penonton atau maksimal menjadi ‘Tim Penggembira’ sesaat. Setelah pesta & seremoni usai, maka mulai hadirlah malapetaka yang bernama ‘Penindasan’.
First Nature Advantage di kantong-kantong Kristen seharusnya atau minimal awalnya berada di tangan gereja dan jemaat, sehingga seharusnya The Economics of Power dapat terbangun dari lingkungan gereja. Dari sana pula lah ‘Kekuasaan yg Adil dan Berlandaskan Kasih’ bisa terbangun sehingga dapat mendorong terbangunnya The Power of Economy.
Ketika Korporasi hadir dengan membawa “Centeng-Centengnya”, Gereja juga bisa hadir dengan The Power of Economy nya untuk mengimbangi Korporasi, bahkan bilamana perlu mengakuisisi target korporasi tersebut beserta dengan “centeng-centeng” nya demi keadilan dan kesejahteraan jemaat.Di Sumatera, di Jawa, di Kalimantan, di Sulawesi sampai dengan di Papua, konteksnya serupa. Kita seringkali dikalahkan oleh Kekuatan Ekonomi. Warga Gereja & Masyarakat ditekan sampai ditindas oleh para “centeng” yang diongkosi oleh Korporasi di belakangnya.
Kita gagal mengidentifikasi, menghitung dan membangun kekuatan ekonomi kita yang dapat dengan cepat dikapitalisasi menjadi Kekuatan Sosial-Ekonomi-Politik, bahkan sampai ke Kekuatan “Keamanan & Pertahanan” dengan pola ‘outsourcing’.
Sampai dengan hari ini pun mayoritas para pemimpin gereja masih asyik sibuk dan berpartisipasi dalam ruang-ruang diskursus Politik, Sosial dan HAM, tetapi hampir tidak ada yang berfokus atau minimal menunjukan ketertarikannya di sektor Ekonomi. Kita hampir tidak pernah berfokus pada AKAR PERMASALAHANNYA.
Mayoritas para pimpinan gereja dan lembaga-lembaga pelayanan Kristiani masih sibuk “fire fighting” (pemadaman kebakaran) dan terbawa arus dan ombak yang diciptakan oleh pihak-pihak eksternal gereja ketimbang berkolaborasi, membangun kekuatan baru untuk bisa menjadi “Wave Maker”, pencipta ombak, pencipta dan penggerak momentum dan pendorong pembangunan dan perubahan.
Diskursus Ekonomi, Industri dan Bisnis bukannya tidak pernah dilakukan, tetapi sangat jarang ada diskursus yang bisa ditindaklanjuti menjadi Program yang konkrit, produktif dan berkelanjutan.Pertanyaannya:
ADA APA DENGAN GEREJA DAN KEKRISTENAN DI INDONESIA?
Kita berteriak ketika ada hamba Tuhan yang ditembak mati di Papua. Kita sadar bahwa ada kepentingan Ekonomi dan Korporasi tertentu yang sangat berminat untuk menguasai wilayah tersebut yang diperkirakan mengandung kekayaan mineral, khususnya Emas. Sayangnya kita seakan tidak berdaya, padahal legalitas dari First Nature Papua masih berada di tangan orang-orang Papua yang sebagian besar adalah warga gereja! Hanya aspek “Advantage” nya saja yang belum diskenario-kan dan direncanakan dengan baik dan hal ini bukanlah sesuatu yang sulit untuk dibangun!
Kita seakan-akan dengan tidak berdaya memberikan diri digiring masuk ke berbagai diskursus dengan topik Papua Merdeka, Separatisme, Diskriminasi dan sejenisnya. Topik-topik yang juga dengan mudahnya digunakan untuk mengadu-domba, membenturkan antar anak bangsa di Papua, selain juga antar Orang Asli Papua.
Kita cenderung membiarkan diri ditarik keluar dari Gelanggang Pertandingan yang sebenarnya.
Kita sangat mudah terdistorsi dari Isu Utama, yaitu KEKUASAAN EKONOMI!!
Dalam Era Ekonomi Baru, industri pertambangan bisa dibangun secara massif dan professional tanpa harus menghadirkan “INVESTOR BESAR”. Berbagai komunitas masyarakat bisa berkolaborasi dengan industri peralatan pertambangan internasional yang dapat menyediakan semua perangkat produksi yang diperlukan dengan pola sewa/ bagi hasil. Mereka tidak harus dan tidak perlu menguasai lahan rakyat. Mereka juga siap untuk menjual hasil pertambangan dengan harga internasional.
Cerita di atas adalah salah satu contoh kecil saja dari apa yang bisa dibangun oleh Kekuatan Kolaborasi Gereja/ Jemaat dan Industri Global. Ini peluang yang konkrit dan nyata. Tetapi kembali pertanyaannya: apakah gereja mau menjadi motor penggerak pembangunan Kekuatan Ekonomi Wilayah? Atau mungkin sudah cukup nyaman berada di zona aman-nya masing-masing?Seandainya gereja berkolaborasi dan membangun “The Economics of Power”nya, bukan tidak mungkin kita bisa membalikan keadaan dalam waktu 6, 9 atau 12 bulan untuk satu wilayah tersebut.
Kita hidup di dunia yang terkoneksi, maka bangunlah Jaringan Kolaborasi Lintas Gereja untuk menghadirkan kekuatan ekonomi yg dapat memposisikan setiap kantong Kristen sebagai kekuatan Geoekonomi dan Geopolitik.
Penindasan hanya bisa ditaklukan oleh THE ECONOMICS OF POWER